|
Jadilah Sahabatku Lagi |
Oleh : Dinda L Cahyani
Tiba-tiba, dunia menggelap. Matahari padam dan udara di sekitar berhenti menyebar, saat dia memilih untuk menjauhiku dan memiliki teman baru, pacarnya.
“Apa salahku?”
“Kau terlalu posesif. Aku tak nyaman dengan perlakuanmu selama jadi temanku.”
“Tapi itu karena aku menyayangimu seperti kau telah menjadi kakakku.”
“Sudahlah Mila, aku harap kau bisa punya teman yang lebih baik lagi.”
“Tidak ada.”
Aku menatap mata perempuan yang berdiri di hadapanku. Rambutnya yang pirang sepinggang tertiup angin. Ia menatap dengan memelas tepat di kedua bola mataku, seolah meminta agar aku melepaskannya. Ini semua hanya kemarahan sementara, karena aku telah mengganggu kencan di malam minggu Karla dan Boy. Namun, aku curiga saat ia menarik napas berat dan mengembuskan perlahan. Tak ada kata-kata yang diucapkan, hanya punggung yang semakin menjauh seakan memberi isyarat bahwa ia benar-benar lelah dengan persahabatan kami.
Karla tidak salah, aku menggeleng. Sedangkan tangan kanan mencengkram cangkir kopi dengan kuat. Ini semua gara-gara kehadiran Boy, si lelaki hidung belang. Sudah jelas lelaki itu tidak hanya mengencani Karla, tapi juga termasuk teman dekatnya; aku.
Malam semakin beranjak. Aku mengencangkan mantel bulu dan syal berwarna pink yang melilit di leher, agar terlindung dari gigitan angin kemarau. Tak sengaja tanganku menarik barang pemberian Karla, kalung persahabatan kami putus. Terlalu sayang jika ikatan ini berakhir sampai di sini. Malam ini juga aku harus meraih lagi tangan Karla dari Boy.
***
Darahku mendidih saat perempuan berambut pirang itu bersender di dada bidang Boy. Kenapa Karla lebih memilih lelaki yang baru tiga minggu dikenal daripada aku yang setahun telah menjaganya. Aku yang membunuh Nana si centil yang mendekati Boy, demi melindungi perasaan Karla. Pun seekor kucing yang melukai tangan Karla karena hendak ia gendong, telah aku kubur hidup-hidup. Dan hal lain yang membuatnya sedih, telah aku bereskan. Namun, sekarang Karla menganggap aku hanya sebagai benalu.
Waktu berjalan sempurna. Karla pergi ke arah toilet dan aku tak mengabaikan kesempatan untuk menemui Boy.
“Hai Boy.”
“Mila. Ada apa sayang?”
“Aku merindukanmu. Tapi aku harus buru-buru pergi sekarang. Temui aku jam sebelas malam ini di tempat biasa. Ada kejutan untukmu.”
Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya dengan genit. Ujung kedua bibir kutarik membentuk sabit, lalu segera berlalu sebelum Karla kembali.
Angin meniup kobaran api dalam dada. Beberapa jam berlalu, aku masih dalam posisi mengintai kedua manusia yang duduk di bawah temaram bulan. Saat arlojiku menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, Boy berdiri dari tempat duduknya. Ia tampak sedang berpamitan pada Karla. Lalu mengecup keningnya dan berlalu.
***
Aku berdiri menghambur ke pelukan Boy dengan tangis yang sengaja kuledakkan. Mengadukan perihal Karla yang memutuskan persahabatan. Lelaki itu mengusap rambutku sambil mencoba menenangkan. Perlahan pelukanku melonggar. Kami duduk di kursi taman belakang kampus.
“Kau tahu Boy, Karla adalah sahabat yang kuanggap kakakku sendiri. Kita berteman cukup lama.”
“Iya, aku tahu. Namun, aku tak mengerti kenapa Karla semarah itu padamu.”
“Mungkin dia tahu kau juga mengencaniku.”
“Tidak. Bukan itu masalahnya.”
“Lalu?”
“Mungkin memang kau harus memberinya waktu.”
“Untuk bersamamu?”
“Tidak. Maksudku agar dia bisa berpikir bahwa kau teman terbaiknya.”
“Teman yang menjilat sahabatnya sendiri?”
“Sudahlah. Aku bisa menjadi sahabatmu juga Mila.”
“Tidak Boy. Persahabatan lelaki dengan perempuan itu berbeda.”
“Apanya yang beda?”
“Perempuan selalu membawa perasaannya dalam bersahabat. Sedangkan lelaki hanya mengandalkan logika.”
“Ah, aku juga punya perasaan.”
“Lalu kenapa kau menduakan Karla denganku?” Mataku menyorot tepat di kedua retina Boy. “Kalau begitu jauhi Karla. Maka kau menyelamatkan dua hati.”
“Lalu mencintaimu saja?” tantang Boy.
“Jauhi aku juga. Dengan itu Karla akan kembali menjadi sahabatku.”
“Aku menginginkan kalian berdua.”
“Kalau begitu, kau telah menyia-nyiakan hidupmu Boy, dengan menyakiti dua hati.”
Aku pun beranjak meninggalkan lelaki pengecut itu. Revolver yang tersembunyi di saku mantel bulu, aku genggam erat. Sebelum benar-benar pergi, Boy memanggil.
“Apa ini kejutan yang kau maksud, Mila?”
Aku berbalik sambil menyembuyikan tangan yang memegang senjata panas yang kusiapkan.
“Ada hal lain, namun aku tak jadi memberikannya.”
Ia mendekat. Tepat di hadapanku dia mencondongkan tubuh, meletakkan kepalanya tepat di sampingku lalu membisikkan sesuatu.
“Aku tahu apa yang akan kau lakukan.”
Bisikannya membuat bulu kudukku berdiri seketika. Waktu berjalan cepat saat suara tembakan terdengar melengking. Tubuh yang berdiri kokoh itu ambruk berlutut di hadapanku. Beberapa meter di depanku berdiri perempuan berambut sepinggang sedang mengangkat tangan kanan yang memegang pistol mengarah padaku. Ia berjalan pelan.
“Seharusnya kau katakan yang sebenarnya, bahwa lelaki seperti dia tidak pantas hidup.”
Sebelum Boy menarik pelatuk revolver yang dia arahkan kepadaku, Karla lebih cepat menembakkan peluru panasnya mengenai dada lelaki pengecut itu. Aku berhambur memeluk Karla dan menangis di pangkuannya. Tanpa ia sadar, revolver yang kusembunyikan sejak tadi telah mengarah padanya dari belakang punggung perempuan yang telah mengkhianati pengorbananku.
“Jadilah sahabatku lagi di dunia lain.”
Lengkingan tembakan menggema di angkasa. Peluru panas menembus tepat ke dadaku.
Bekasi, 16 Agustus 2015 / 1 Dzulqa’idah 1436 H