Diikutkan dalam lomba menulis disebuah grup
Oleh : Dinda Lindia Cahyani
Berawal dari rasa kagum terhadap
seorang teman, akhirnya aku memutuskan untuk berkerudung permanen, setelah
sebelumnya aku hanya menggunakan kerudung saat-saat tertentu saja. Meski hanya
memiliki beberapa lembar kerudung, tak menjadi masalah besar buatku. Aku tetap
berusaha menutup aurat, walau belum bisa disebut berhijab syar’i.
Berhijab bukan berarti tak boleh
pacaran, kan? Itu pemahamanku saat memasuki Madrasah Aliyah (MA), setingkat SMA.
Aktivitas pacaran masih aku jalani. Ah, masa labil memang merasuki jiwa-jiwa
anak muda yang belum mengenal islam secara menyeluruh. Suatu hari aku
mendapatkan sebuah pesan singkat, “Laa taqrabu zina, Inahu kaana Faahisyah wa
saa-a sabila; jangan mendekati zina, sesungguhnya ia (zina) adalah perbuatan
keji dan jalan yang buruk.” Apa maksud dari pesan itu? menuduhku berzina? Padahal
aku sama sekali tidak pernah berhubungan layaknya suami-istri, aku tidak pernah
menggadaikan harga diriku. Toh, aku hanya pacaran yang saling memotivasi satu
sama lain agar sama-sama berprestasi. Huh, aku tidak bisa menyembunyikan
kekesalan, dan hasilnya adalah aku tidak mau menghubungi si ‘pengirim’ pesan
itu lagi.
Siklus pacaran selalu kualami,
PDKT-jadian-romantis-berantem-putus. Kalau dipikirkan, hal itu memang
membosankan. Kelas dua MA, aku memutuskan untuk tidak berpacaran karena sudah
terlalu sering sakit hati, ceritanya. Bukan karena aku mengerti bahwa pacaran
itu dilarang agama lho. Selepas MA, aku melanjutkan pendidikan satu tahun di
satu lembaga tertentu. Niatku, aku sampaikan pada wali kelasku. Dan beliau
mengingatkan, “disitu harus pake gamis loh, terus kerudungnya panjang-panjang.”
Bukannya mundur, aku malah tertarik. Hatiku selalu ingin berpenampilan seperti ‘mereka’
yang benar-benar berhijab syar’i. Aku melangkah pasti, mendaftar dan akhirnya
tersesat.
Hari pertama, yang jika ditempat
lain mahasiswa itu selalu mendapatkan “bullying”, berbeda halnya dengan ‘kami’
yang mendapatkan ilmu baru. Cara berpakaian sesuai syari’at, pengenalan tentang
jilbab dan khimar. Ternyata kedua kata itu berbeda, jilbab adalah yang selama
ini aku sebut gamis, dan khimar itu kerudung. Tidak boleh tipis, ketat, dan
harus menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sulit, awalnya
hanya punya tiga potong jilbab dan beberapa khimar yang kugunakan bergantian
setiap harinya. Itu pun, pakaian yang tidak memiliki ‘style’ seperti kebanyakan
set jilbab masa kini.
Selain itu, pemahamanku bertambah bahwa menutup aurat
berarti kita juga harus menutup pintu maksiat yang lain, termasuk pacaran
dibahas saat itu. Allah, aku merasa semakin mengenal-Mu.
Sekarang, aku tahu bahwa
memutuskan untuk menutup aurat itu berarti memutuskan tali-tali maksiat kepada
Allah dan memanjangkan taat kepada-Nya. Lebih baik mengenal-Nya terlebih dahulu
sebelum mengenal seseorang yang tak halal bagiku. Udah putusin aja! Putuskan untuk
menutup aurat dan putuskan pacarmu.
Cileungsi, Bogor-Indonesia
13 feb 2015